Jumat, 02 September 2011

Budaya Menganggur


Pada penyelesaian tugas Ilmu Budaya Dasar kali ini saya berupaya membahas mengenai Budaya menganggur, atau pengangguran di Indonesia. Ini merupakan sebuah fenomena budaya yang ada di Negara kita. Banyak hal yang menjadikan pengangguran sebagai pilihan hidup, selain dari faktor ekonomi, terbatasnya Ilmu pengetahuan, namun juga dari faktor kemalasan dapat menjadi salah satu penyebab meningkatnya pengangguran di Indonesia.
Definisi pengangguran menurut Sadono Sukirno :
Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya
Definisi pengangguran menurut Payman J. Simanjuntak :
Pengangguran adalah orang yang tidak bekerja berusia angkatan kerja yang tidak bekerja sama sekali atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pencacahan dan berusaha memperoleh pekerjaan.
Definisi pengangguran berdasarkan istilah umum dari pusat dan latihan tenaga
Kerja :
Pengangguran adalah orang yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan yang
menghasilkan uang meskipun dapat dan mampu melakukan kerja.
Definisi pengangguran menurut Menakertrans :
Pengangguran adalah ornag yang tidak bekerja, sedang mencari pekerjaan,mempersiapkan suatu usaha baru, dan tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan.
Definisi menurut organisasi.org :
Pengangguran adalah orang yang masuk dalam angkatan kerja (15 sampai 64 tahun) yang sedang mencari pekerjaan dan belum mendapatkannya. Orang yang tidak sedang mencari kerja contohnya seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan smp, sma, mahasiswa perguruan tinggi, dan lain sebagainya yang karena sesuatu hal tidak/belum membutuhkan pekerjaan.
Dengan menggunakan landasan teori dari para ahli di atas penulis menyimpulkan pendapatnya mengenai definisi dari pengangguran. Pengangguran adalah Orang yang tidak mendapatkan pekerjaan padahal sudah waktunya bekerja, merasa mampu dan memiliki kekuatan untuk bekerja.
Berikut ini adalah sedikit ulasan yang dapat saya berikan mengenai masalah pengangguran yang ada di Indonesia.
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi. Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak, mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan. Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman berdasarkan-”collateral” menyebabkan perluasan dan pelanggaran peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan domestik, danhambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997 dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama, hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada Mei 1998. Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Duryang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Dalam hal ini kita mengetahui bahwa Indonesia mengalami krisis ekonomi pada 1997, membuat kondisi ketenagakerjaan Indonesia ikut memburuk. Sejak itu, pertumbuhan Indonesia juga tidak pernah mencapai 7 hingga 8 persen. Padahal, masalah pengangguran sangat erat kkaitanya dengan masalah ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi ada, otomatis penyerapan tenaga kerja juga ada. Setiap persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia bisa mencapai 400 ribu orang tenaga kerja yang terserap. Jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya 3 hingga 4 persen, tentu hanya 1,6 juta tenaga kerja yang akan terserap, sementara itu pencari kerja mencapai 2,5 juta pertahun. Jadi logikanya setiap tahun bisa dipastikan ada sisa pencari pekerjaan yang tidak mendapat kerja dan menimbulkan peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia.
Ada banyak sekali macam pengangguran, berikut adalah macam-macam pengangguran.
  1. Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment
Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural / Structural Unemployment
Pengangguran struktural adalah keadaan di mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment
Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.
4. Pengangguran Siklikal
Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.

Pengangguran dibagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya :
  • Pengangguran Terbuka.
Yaitu pengangguran baik sukarela ( mereka yang tidak mau bekerja karena mengharapkan pekerjaan yang lebih baik ) maupun secara terpaksa ( meraka yang mau bekerja tetapi tidak memperoleh pekerjaan).
  • Setengah menganggur.
Yaitu mereka yang bekerja lamanya ( hari, minggu, musiman ) kurang dari yang mereka biasa kerjakan.
  • Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh.
Yaitu mereka yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran.
  • Tenaga kerja yang lemah.
Yaitu mereka yang mungkin bekerja full time, tetapi intensitasnya lemah karena kurang gizi atau penyakitan.
  • Tenaga kerja yang produktif.
Yaitu mereka yang mampu bekerja secara produktif tetapi karena sumber daya penolong kurang memadai maka mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu dengan baik.
  1. A.     Penyebab Utama Pengangguran di Indonesia

Faktor Pribadi
Dalam hal ini penyebab pengangguran bisa disebabkan oleh kemalasan, cacat dan rendahnya pendidikan dan ketrampilan. Penjelasannya sebagai berikut :
1. Faktor kemalasan
Penganguran yang berasal dari kemalasan individu sebenarnya sedikit. Namun, dalam sistem materialis dan politik sekularis, banyak yang mendorong masyarat menjadi malas, seperti sistem penggajian yang tidak layak atau maraknya perjudian. Banyak orang yang miskin menjadi malas bekerja karena berharap kaya mendadak dengan jalan menang judi atau undian.
2. Faktor cacat
Dalam sistem kapitalis hukum yang diterapkan adalah ‘hukum rimba’. Karena itu, tidak ada tempat bagi mereka yang cacat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
3. Faktor rendahnya pendidikan dan keterampilan
Saat ini sekitar 74% tenaga kerja Indonesia adalah mereka yang berpendidikan rendah, yaitu SD dan SMP. Dampak dari rendahnya pendidikan ini adalah rendahnya keterampilan yang mereka milki. Belum lagi sistem pendidikan Indonesia yang tidak fokus pada persoalan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan dan dunia kerja. Pada akhirnya mereka menjadi pengangguran intelek.

4. Faktor sistem sosial dan ekonomi
Faktor ini merupakan penyebab utama meningkatnya pengangguran di Indonesia, di antaranya:
a. Ketimpangan antara penawaran tenaga kerja dan kebutuhan
Tahun depan diperkiraan akan muncul pencari tenaga kerja baru sekitar 1,8 jutaorang, sedangkan yang bisa ditampung saat ini dalam sektor formal hanya 29%. Sisanya di sektor informal atau menjadi pengangguran.
b. Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat
Banyak kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat dan menimbulkan pengangguran baru, Menurut Menakertrans, kenaikan BBM kemarin telah menambah pengangguran sekitar 1 juta orang.
Kebijakan Pemerintah yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi bukan pemerataan juga mengakibatkan banyak ketimpangan dan pengangguran. Banyaknya pembukaan industri tanpa memperhatikan dampak lingkungan telah mengakibatkan pencemaran dan mematikan lapangan kerja yang sudah ada. Salah satu kasus, misalnya, apa yang menimpa masyarakat Tani Baru di Kalimantan. Tuntutan masyarakat Desa Tani Baru terhadap PT VICO untuk menghentikan operasi seismiknya tidak mendapat tanggapan. Penghasilan tambak mereka turun hampir 95 persen akibat pencemaran yang ditimbulkan PT VICO. Tanah menjadi tidak subur, banyak lubang bekas pengeboran dan peledakan, serta mengeluarkan gas alam beracun. Akibatnya, rakyat di sana menjadi orang-orang miskin dan penganggguran.
c. Pengembangan sektor ekonomi non-real
Dalam sistem ekonomi kapitalis muncul transaksi yang menjadikan uang sebagai komoditas yang di sebut sektor non-real, seperti bursa efek dan saham perbankan sistem ribawi maupun asuransi. Sektor ini tumbuh pesat. Nilai transaksinya bahkan bisa mencapai 10 kali lipat daripada sektor real.
Pertumbuhan uang beredar yang jauh lebih cepat daripada sektor real ini mendorong inflasi dan penggelembungan harga aset sehingga menyebabkan turunnya produksi dan investasi di sektor real. Akibatnya, hal itu mendorong kebangkrutan perusahan dan PHK serta pengangguran. Inilah penyebab utama krisis ekonomi dan moneter di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1997.
Peningkatan sektor non-real juga mengakibatkan harta beredar hanya di sekelompok orang tertentu dan tidak memilki konstribusi dalam penyediaan lapangan pekerjaan.
d. Banyaknya tenaga kerja wanita
Jumlah wanita pekerja pada tahun 1998 ada sekitar 39,2 juta. Jumlah ini terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan jumlah tenaga kerja wanita ini mengakibatkan persaingan pencari kerja antara wanita dan laki-laki. Akan tetapi, dalam sistem kapitalis, untuk efesiensi biaya biasanya yang diutamakan adalah wanita karena mereka mudah diatur dan tidak banyak menuntut, termasuk dalam masalah gaji. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya pengangguran di pihak laki-laki.
Seperti yang kita ketahui banyak sekali pengangguran di Indonesia. Mereka semua tidak memiliki tujuan lagi dalam hal mencari pekerjaan. Mereka sangat berharap mendapat pekerjaan sesuai dengan yang mereka inginkan. Namun, apa daya mereka. Kini keadaan mereka tidaklah tentu, ada yang menjadi gelandangan karena kehabisan harta mereka untuk makan sehari-hari. Ada juga yang rela menjadi pengemis hanya untuk beberapa suap nasi. Mereka adalah golongan miskin. Makin terpuruknya keadaan mereka akan makin mempersulit pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, karena akan makin bertambahnya jumlah kemiskinan di Indonesia dikarenakan pengangguran.
Jumlah pengangguran pada Februari 2009 mencapai 9,26 juta orang atau 8,14 persen dari total angkatan kerja. Secara umum tingkat pengangguran terbuka (TPT) total cenderung menurun dibanding TPT Agustus 2008 sebesar 8,39 persen, dan TPT Februari 2008 sebesar 8,46 persen.
Jika dibandingkan dengan keadaan Agustus 2008, TPT untuk sebagian besar tingkat pendidikan mengalami penurunan, kecuali TPT untuk pendidikan diploma dan universitas yang mengalami kenaikan. Antara Agustus 2008 ke Februari 2009 TPT untuk pendidikan diploma meningkat dari 11,21 persen menjadi 15,38 persen, dan TPT untuk pendidikan universitas naik dari 12,59 persen menjadi 12,94 persen. Pada semester ini TPT untuk pendidikan SMK adalah yang tertinggi yaitu sebesar 15,69 persen.
Sebenarnya pemerintah juga sudah mengupayakan dan membekali para penganggur sebagaimana yang tercantum dalam
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pasal 12
(1) Pemberdayaan sosial dimaksudkan untuk:
a. memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok,  dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan  sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
b. meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber  daya  dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Namun hal ini malah membuat penganggur semakn malas, mereka lebih memilih menjadi pengemis atau pengamen jalanan. Dengan asumsi bahwa mereka akan mendapat bantuan dari pemerintah karena mereka miskin. Masalah ini akan terus berkelanjutan karena mengingat bertambahnya angka pengangguran tiap tahunya di Indonesia.
Sebuah studi mengatakan bahwa pengangguran akan lebih sering sakit daripada mereka yang memiliki pekerjaan.
Seperti yang dikutip dari Times of India, orang yang tidak memiliki pekerjaan lebih sering merasakan sakit fisik dan emosional daripada orang yang memiliki pekerjaan. Hasil penelitian tersebut didapatkan dari sebuah penelitian GEDA (Gesundheit in Deutschland Aktuell, atau Current Health in Germany) yang dilakukan pada tahun 2008-2009 oleh Robert Koch Institute.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang tidak memiliki pekerjaan antara usia 30 – 59 tahun umumnya sering mengalami gangguan fisik, emosional, dan fungsional. Gangguan tersebut bisa berupa gangguan tidur, sering merasa cemas, bahkan kecanduan pada zat tertentu. Akibatnya, orang yang menganggur akan lebih banyak mendapatkan perawatan kesehatan.
Kosekuensi kesehatan ini diakibatkan oleh tidak adanya penghasilan, kehilangan kontak sosial di tempat kerja atau kehilangan reputasi sosial. Namun, pengangguran yang selalu mendapatkan dukungan dari pasangan, keluarga dan teman lebih sedikit mengalami masalah kesehatan fisik dan mental ini.

Masalah kemiskinan bukan hanya menimpa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan tetapi masalah ini juga pernah dirasakan oleh negara-negara maju. Perbedaannya untuk negara-negara maju kemiskinan pada umumnya lebih sering menimpa pada para imigran. Sedekar contoh, Inggris dan Amerika Serikat pernah dihadapkan pada masalah ini. Inggris pernah mengalami kemiskinan-nasional di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Sementara itu Amerika Serikat sebagai negara maju juga pernah dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa resesi ekonomi tahun 1930-an. Bahkan, tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan, Amerika Serikat juga telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau 1/6 dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Apabila kita runut berdasarkan akar kemiskinan berdasarkan level permasalahan, maka kemiskinan dapat dibegi menjadi empat dimensi, yakni (i) dimensi mikro yakni kemiskinan akibat mentalitas materialistic dan ingin serba cepat ( instan ), (ii) dimensi mezzo yakni kemiskinan akibat melemahnya social trust ( kepercayaan social ) dalam suatu komunitas dan organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu sendiri, (iii) dimensi makro, yakni kemiskinan akibat kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia, dan (iv) dimensi global, yakni kemiskinan karena adanya ketidakseimbangan relasi antara negara maju dengan negara yang sedang berkembang.
Sementara itu di Indonesia masalah kemiskinan nampaknya masih terus menjadi “momok”. Meski laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 meningkat, namun laju pengangguran juga meningkat. Pada tahun 2000 kita mencatat laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,92% dengan tingkat kemiskinan 19,1% dan tingkat pengangguran terbuka (open unemployment) mencapai 5,8 juta orang. Pada tahun 2003 laju pertumbuhan ekonomi mencapai 4,88% dan tingkat kemiskinan mampu ditekan menjadi 17,4%, namun open unemployment justru meningkat menjadi 9,8 juta orang. Pada tahun 2006 dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,48%, jumlah penduduk miskin justru meningkat menjadi 17,75% dengan open unemployment meningkat menjadi 10,93 juta orang.
Pada bulan Maret 2010 tingkat kemiskinan masih mencapai 13,33% dan ditargetkan turun menjadi 11% pada akhir tahun. Namun apabila diikuti perkembangan laju penurunan angka kemiskinan selama Maret 2009-Maret 2010 yang hanya mencapai 0,82%, nampaknya pencapaian target angka kemiskinan nasional bakal sulit tercapai. Tidak menutup kemungkinan justru jumlah sebaliknya yang terjadi, jumlah penduduk miskin bias bertambah sebagai akibat kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Sebagaimana diketahui bahwa kenaikan TDL akan berdampak pada kenaikan inflasi, sementara itu tingkat pendapatan masyarakat relatif tidak mengalami perubahan.
Jika kita korelasikan antara laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan open unemployment, nampak setelah krisis 1996 telah terjadi paradoks pertumbuhan-pengangguran. Laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun laju pengangguran juga meningkat. Sementara itu meskipun kemiskinan menunjukkan penurunan tipis, namun angkanya masih relatif besar. Padahal secara teoritis laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output nasional dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Pertanyaannya adalah mengapa pertumbuhan ekonomi meningkat namun pengangguran cenderung meningkat dan kemiskinan masih tinggi?
Ada beberapa hal yang perlu dicermati mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan penyediakan lapangan kerja, sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia belum ditopang dengan sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja yang tinggi. Akibatnya belum mampu menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia.
Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Indonesia masih terkonsentrasi di daerah-daerah di Jawa, mungkin sebagian Sumatera, dan beberapa kota besar lainnya, akibatnya laju pertumbuhan ekonomi ini tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dengan demikian akan berdampak pada pemberdayaan masyarakat setempat.
Paradoks antara perrtumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi yang kita alami selama ini masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Nampaknya terdapat syarat lainnya yang belum dipenuhi, yakni syarat kecukupannya (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus efektif mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di setiap daerah dan setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity).

Indonesia adalah urutan ke 133 dalam dalam hal tingkat pengangguran di dunia. Semua itu tidak bisa semata-mata kesalahan pemerintah, namun kurangnya kemampuan Sumber Daya Manusia dan masih minimnya lapangan kerja di Indonesia juga merupakan faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai upaya dalam mengentas pengangguran dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia dan menghimbau untuk ber Wirausaha namun banyak orang berfikir lebih nyaman bekerja disbanding membuka lapangan pekerjaan sendiri. Padahal bila mereka mau berusaha membuka lapangan pekerjaan sendiri itu lebih menguntungkan dalam segi pendapatan. Dalam segi sosial dapat mengangkat karyawan serta dapat meminimalisaasi pengangguran yang sudah ada di Indonesia. Bila mereka tidak mampu ber Wirausaha, paling tidak mereka mampu menata diri untuk membangun Sumber Daya Manusia dalam diri mereka masing-masing sehingga mereka memiliki kemampuan yang layak diperhitungkan dalam dunia kerja.




Penanggulangan masalah pengangguran di Indonesia

Banyaknya pengangguran di Indonesia bisa menjadi ptensi kriminalitas yang cukup besar, apalagi menimbulkan masalah sosial terutama masalah ekonomi. Pengangguran juga merupakan pemborosan yang cukup menguras keuangan pemerintah. Bayangkan berapa orang di Indonesia yang menganggur, berapa orang yang miskin karena penganggur. Mereka semua membutuhkan sandang, pangan dan papan. Berapa rupiah dana pemerintah yang mengalir hanya untuk menghidupi mereka. Ber ton-ton beras dikirimkan sebagai upaya penghidupan para penganggur.

sudah jelas menjadi kewajiban pemerintah dalam memberikan kesejahteraan atau penghidupan yang layak bagi rakyatnya. Pemerintah mengupayakan lapangan pekerjaan bagi setiap penganggur sebagai solusi seperti pasal 27 di atas, atau dapat membuka pelatihan-pelatihan tenaga kerja untuk membangun Sumber Daya Manusia di Indonesia.

Kemudian bersama-sama berupaya mencegahperselisihan hubungan Industrial. Seperti yang kita ketahui persaingan bisnis memanglah berat, namun bila persaingan itu menjadi sebuah perselisihan semua berdampak pada karyawan yang berujung pada PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja ). Tentu semua itu merugikan semua pihak. Bila itu terjadi maka bertambahlah angka pengangguran yang ada.


Selanjutnya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Terutama di bidang kelautan, Indonesia adalah Negara kepulauan yang tentunya banyak bidang kelautan yang dapat dikembangkan. Secara geografis kawasan laut Indonesia sangat berpotensi dan perlu dikelola dengan baik. Sehingga, dapat menciptakan lapangan pekerjaan pekerjaan.
Jadi setiap warga Negara Indonesia mendapatkan hak yang rata dalam pendidikan. Namun dalam penerapanya masih belum maksimal. Diharapkan nanti kedepanya pendidikan di Indonesia dapat dibenahi sehingga menjadi layak dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat Indonesia.

Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai banyaknya pengangguran di Indonesia, dengan mengucap Alhamdulillah maka tugas kali ini dapat terselesaikan. Mohon maaf apa bila ada kekurangan ataupun salah kata yang kurang berkenan dihati pembaca.

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar